Puisi: Sabda_AL "Tangisan Rindu Gazel"
Dibawah pendar cahaya purnama yang begitu asing. Tersebutlah nyanyian ruhani dibilik rumah-rumah Tuhan. Rindu menjadi bahasa Isyarat bagi sang kehilangan. Dan beberapa bagiannya menjadi ayat kauniyah yang tidak ditemukan keberadaannya. Apakah kerinduan dan kehilangan adalah satu kesatuan? Meski ia memiliki makna yang berbeda, namun keduanya begitu ngeri pada ketakutan-ketakutan. Namun apa yang perlu ditakuti dari rindu? Bukankah rindu yang bakal membimbing diriku? Atau pun kehilangan yang bakal menjadi guru kebajikan? Sekuntum mawar dibawah cahaya fajar melambai-lambai. Sebagaimana rindu melihat ku dan memanggil nya untuk aku temui. Namun bukan itu, di atas kesunyian ku, aku baru sadar bahwa semalaman aku menunggu dirinya.
***
Cahaya melepas resah, menerpa wajah jelita. Dibalik jendela kamar tidurnya yang begitu bising dari suara-suara yang bersembunyi. Hatinya penuh penantian, dan beberapa dinding kamarnya yang telah kusam tersemat kata, "aku mencintaimu sebagaimana engkau mencintai diriku. Kemari dan datanglah. Temui diriku yang sedang kehausan cintamu". Tidak ada tangis didalamnya, hanya penantian yang begitu lusuh. Didalam mimpi yang tidak beristirahat, tersemat harap diantara pujianya semalam. Hari ini dirinya terjaga, di peluk cahaya sebab kedinginan. Dengan wajah layu, namun tetap elok dipandang. Siapa yang tidak tahu, bahwa memandangnya adalah kesejukan? Dan alam bernyanyi ingin menyambut senyumnya yang tertahan!
***
Selepas kidzib, selembar sapa terdengar. Begitu bening memecah hening yang tak hilang. Hari ini manusia begitu sibuk dengan dirinya. Sedangkan sapa hanya sebatas suara yang terbesit tanpa raga. Hari ini, aku serupa kumbang begitu kebingungan mencari sari-sari bunga untuk menyeka lapar. Sang rindu masih pulas dengan diamnya. Langit semakin meninggi, gelap semakin menuju arah barat. Cahaya diantara kedua ufuk saling menyapa. Diubun kepala, ditempat aku berdiam, tangan-tangan cahaya saling menggenggam, serupa ketakutan pada hilang. Dari hati yang dalam, kepada sebongkah batu yang terdiam, aku berkata beberapa kata dengan memandang pertemuan kedua ufuk, alam menyaksikannya, "hanya menanti sehari saja engkau tidak mampu untuk ditinggal, bagaimana denganku? Seucap sapa pun tak aku dapati darinya?". Namun, aku lebih malu mengucap kata seperti itu. Gelap semakin pergi. Rembulan semakin pucat ditengah pusaran langit. Sedangkan cahaya jingga telah melepas sayap-sayapnya yang begitu indah. Waktuku telah usai, aku perlu kembali pada dipan ku. Aku perlu beristirahat hari ini. Dimalam nanti aku akan kembali, pada penantian-penantian yang muhal. Dan pada keheningan yang kekal....
***
D'Jbr_230522-1045
Komentar
Posting Komentar